You can also receive Free Email Updates:

Jejak Kapitalisme Ekstraktif di Bumi Papua

Rubrik: Laporan Khusus
Telah dicetak dan diterbitkan dalam Satu Papua Edisi 02/2013
Jakarta, 27 Mei 2011 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi meluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Kabupaten Timika Papua termasuk satu dari empat daerah yang dipusatkan bagi 17 proyek groundbreaking ini.    Proyek yang dicanangkan adalah proyek jalan raya Timika-Enarotali sepanjang 135 km dengan investasi senilai Rp 600 miliar yang akan dilaksanakan oleh Pemprov Papua dan Pemkab Merauke. Selain itu, juga dicanangkan proyek pembangunan jalan raya dari Merauke-Waropko sepanjang 600 km yang akan membutuhkan dana sebesar Rp 1,2 triliun.

 Bagi Papua, MP3EI adalah tahap berikut dari skema pengurasan sumber daya alam. Momentum ini tidak terpisahkan dari kontrak jangka panjang Indonesia dengan perusahaan tambang Freeport-McMoRan di Papua. Disusul kemudian ratusan investasi yang memutilasi ruang bumi Papua dalam konsesi-konsesi tambang, migas, perkebunan, industri kehutanan dan proyek-proyek lainnya. Tidak ada yang memungkiri, berbagai kejahatan kemanusian dan lingkungan turut terjadi sejak perusahaan-perusahaan itu beroperasi.
 Jejak Kapitalisme Ekstraktif
Sejak operasi pertambangan Freeport-McMoRan tahun 1967 hingga saat ini, Papua telah masuk dalam cengkraman kapitalisme ekstraktif yang memberikan prioritas pada keamanan aliran energi, material dan investasi (finance kapital) lebih utama ketimbang keselamatan alam dan manusia lokal.  Tata ruang di Papua kini penuh sesak dengan konsesi-konsesi pertambangan dan migas yang dikenal memiliki daya rusak besar pada secara permanen pada lingkungan.
Papua juga menjadi incaran industri perkebunan skala besar baik yang terkait atau tidak dengan MP3EI. Industri kehutanan (logging) juga marak merambah segenap penjuru kawasan hutan di Papua. Data dinas kehutanan untuk kegiatan pertambangan di Papua yang telah dizinkan 42 unit dengan total luas 96.563 Ha. Kementrian ESDM mengaku tidak memiliki data dari izin usaha pertambangan (IUP) data yang dikeluarkan pemerintah daerah. Saat ini ada 60 izin (Papua 26 izin dan Papua Barat 34 Izin) meliputi luas Sekitar 961.372,39 hektar. Itu belum termasuk izin baru dari kabupaten, Konsesi kontrak karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) dan Wilayah Kerja Migas.
Konsesi kontrak karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKB2B) dan Wilayah Kerja Migas oleh pemerintah pusat masih mendominasi peruntukan lahan di Papua.  Peta ruang konsesi pertambangan dan migas menjadi bukti masifnya konsolidasi lahan untuk kepentingan industri keruk. Konsesi tambang yang notabene dikeluarkan oleh pemerintah pusat menyisakan sedikit ruang bagi daerah kabupaten. Di Kabupaten Tolikara Papua, hanya tersisa tidak lebih 50% wilayah kelola daerah setelah dikurangi berbagai konsesi tambang termasuk konsesi Freeport dan kawasan lindung kehutananan. Tidak sedikit perseteruan berlanjut hingga proses gugatan pengadilan atau para Bupati yang mbalelo dengan mengeluarkan izin pertambangan di lokasi yang sama. Pada akhirnya keputusan yang kental dengan praktik korup ini menjadi “bom waktu” konflik dikemudian hari.
Kewenangan besar kepala daerah kabupaten seringkali berbenturan dengan agenda pemerintah pusat. Terjadi tumpang tindih peruntukan lahan hingga konflik kepentingan atas penguasaan sumber daya alam yang makin diperparah dengan praktik korupsi dan kolusi.
Di lapangan perampasan paksa berlangsung secara kasat mata. Mega proyek LNG Tangguh telah merampas 50 ha lahan marga Sowai di kampung Tanah Merah lama. PT Freeport juga telah mengambil paksa tanah adat orang Amungme.Tragedi kelaparan dan kematian massal warga di Distrik Kwoor berhubungan dengan konflik konsesi pertambangan dan kerusakan lingkungan di bagian hulu Kwoor, Kabupaten Tambrauw. Konflik konsesi tambang antara PT. Akram Resources dan PT. Choice Plus Energi Petroleum diduga telah menyebabkan kerusakan lingkungan di kawasan cakar alam Tambrauw Utara juga di Suaka Marga Satwa Jamursbamedi.
 Keselamatan Papua
Agenda apitalisme ekstraktif telah menyusup dalam agenda pemekaran dan otonomi khusus (otsus) Papua. Penanda dominasi kapitalisme ekstraktif adalah monopoli ruang dan perburuan potensi nilai uang yang dibisa dihasilkan hingga pengurasan bahan mentah. Bagi daerah pemekaran atau kabupaten baru segera dapat dilihat dari jumlah izin usaha pertambangan yang dikeluarkannya. Agenda pemekaran juga dilatarbelakangi penguasaan sumber daya alam, bukan demi keselamatan. Saat ini ada sekitar 50 usulan pemekaran kabupaten di Papu , bahkan ada wacana pemekaran Papua Tengah, Papua Timur dan Teluk Cenderawasih, sehingga menjadi tujuh provinsi.
Sementara itu ekspor bahan mentah dari Papua terus meningkat. Pada November 2012 sebesar US$136.81 juta atau mengalami peningkatan 9,23 persen dibandingkan Oktober 2012. Barang-barang yang diekspor pada bulan November 2012 terdiri atas Bijih Tembaga & Konsentrat (HS26) senilai US$130,31 juta; Kayu & Barang dari Kayu (HS44) senilai US$6,49 juta; dan ekspor golongan non migas lainnya sebesar US$0,01 juta. Pada bulan November 2012 tidak ada ekspor Ikan & Hewan Air Lainnya (HS03).
Otonomi khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat seharusnya dapat berbuat lebih untuk keselamatan Papua asalkan dijalankan berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat. bukan menjdi perasan energi dan material bagi negara lain. Bukan tidak mungkin, dengan laju pengurasan begitu besar potensi dan kekayaan sumber daya alam tinggal mitos belaka bagi generasi masa depan Papua.
Pada bagian penghujung dari hiruk pikuk eksploitasi ruang dalam praktek kapitalisme ekstraktif di Papua adalah jaminan layanan pasokan energi dan material yang tidak dinikmati oleh warga Papua. Pasokan ini dipastikan untuk melayani kepentingan negara-negara tertentu dan pemerintah pusat. Sementara bagi warga Papua, menyempitnya ruang hidup dan hilangnya layanan alam adalah krisis yang harus mereka hadapi dimasa kini dan masa depan.
Tim Jaringan Advokasi Tambang
Share this article :
 
 
Copyright © 2013. National Papua Solidarity - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger